Pentingnya Paham Literasi Keuangan
Persoalan besar bangsa kita dalam bidang ekonomi adalah kemiskinan. Pemerintah boleh berganti, namun persoalan kemiskinan tidak pernah terselesaikan. Kemiskinan identik dengan rendahnya literasi keuangan masyarakat kita, khususnya kelompok marginal. Dengan jumlah penduduk hampir 250 juta jiwa, ternyata hanya 24 persen saja masyarakat kita yang mengenal dan memanfaatkan layanan perbankan.
Angka tersebut jauh di bawah negara tetangga,
seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Jumlah investor individu yang melantai di Bursa Efek
Indonesia (BEI) juga sangat minim sekali. Tak lebih dari kisaran angka 0,02%
dari total jumlah penduduk. Pantaslah
kiranya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) begitu menggebu-gebu melakukan sosialisasi
program keuangan inklusi dan literasi finansial. Tujuannya, tentu agar lebih
banyak anggota masyarakat kita yang sadar akan manfaat layanan perbankan dan
institusi keuangan lainnya.
Minimnya pemahaman tentang apa, bagaimana dan
mengapa literasi keuangan, menunjukkan betapa
rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting melek finansial sebagai
kecakapan hidup. Fenomena demikian
dibuktikan dengan maraknya korban penipuan investasi bodong, pemakaian kartu kredit secara
tidak bijak, dan ketidakcintaan sebagian anggota masyarakat terhadap rupiah. Pertanyaan
yang muncul kemudian, siapa
yang bertanggung jawab membekali literasi keuangan masyarakat?
Saat ini, literasi
keuangan dianggap
tidak penting, sehingga tidak perlu
diajarkan kepada anak sejak dini. Dalam budaya masyarakat kita, adalah tabu
membicarakan segala sesuatu tentang uang dihadapan anak.
Itulah mengapa pengetahuan,
sikap dan ketrampilan tentang kesehatan finansial keluarga tidak mendapat porsi pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah, bahkan pada tingkat perguruan
tinggi. Oleh karenanya,
muncul pandangan bahwa literasi finansial bukan merupakan kecakapan hidup (life skills) yang harus dibekalkan
kepada anak. Asumsinya, toh tanpa
diajaripun, seorang anak sesuai dengan perkembangan usianya akan mengenal apa itu uang.
Literasi
finansial bukan persoalan kenal atau tidak kenal uang
sebagai alat pembayaran. Akan tetapi, sebagai kemampuan individu dalam
mengelola keuangan secara bijak sesuai kebutuhan bukan berdasarkan keinginan.
Dalam perspektif ekonomi jelas terdapat perbedaan anatara kebutuhan dan
keinginan. Kebutuhan bersifat terbatas pada apa yang diperlukan, sedangkan
keinginan sifatnya tidak terbatas.
Konsep
sederhana itu, kalau kita mau jujur, tidak pernah diajarkan kepada anak. Ketika
seorang anak merengek minta dibelikan sesuatu—yang belum tentu dibutuhkan tapi
karena hanya ingin memiliki—dengan rela orang tua akan memenuhinya segera
dengan alasan tidak tega. Kondisi demikian tanpa kita sadari akan membentuk
sikap konsumtif anak. Ketika mendengar stempel bahwa masyarakat kita adalah
masyarakat konsumtif, tanpa rasa bersalah kita menyalahkan faktor lingkungan.
Padahal dalam lingkungan keluarga, kita sendiri telah memicu generasi
konsumtif.
Tugas dan
tangungjawab mengajarkan keuangan dalam keluarga dapat dimulai dengan memberikan pemahaman tentang
perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan—yang merupakan prinsip dasar ekonomi. Ajarkan pada anak dengan contoh yang mudah dipahami sesuai perkembangan usia mereka. Pada usia dini,
anda harus menjadi role model dalam
perilaku berbelanja. Anda seyogianya
berbelanja bukan karena keinginan nafsu atau gengsi, tapi
memang barang dan jasa yang anda
beli benar-benar diperlukan.
Ketika mereka
menginjak usia remaja, hindari atau batasi lingkungan pergaulan dengan teman sebaya mereka yang
cenderung hedonis. Mulai ajarkan kepada mereka tentang manajemen keuangan sederhana. Tanamkan sikap menghargai setiap
rupiah yang diterima dan dibelanjakan dengan mencatat setiap penerimaan dan pengeluaran. Jika perlu, anda
minta mereka mengumpulkan bukti-bukti
belanja. Periksa catatan pembukuan mereka setiap akhir bulan. Lakukan evaluasi dan diskusikan sebagai refleksi perilaku belanja mereka. Ajak mereka untuk membuka rekening tabungan di lembaga perbankan.
Ketika memasuki
usia Sekolah Menengah Atas (SMA/ SMK), ajarkan pola 70:20:10 dalam megelola uang. Artinya maksimal 70 persen dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi, 20 persen untuk investasi
dan 10 persen untuk dana cadangan yang harus ditabung. Pada saat yang sama,
berikan
pemahaman tentang perbedaan fungsi investasi dan tabungan. Ketika mereka ingin
memiliki kartu kredit, jangan anda langsung setuju. Sebaiknya beri pemahaman kepada mereka kelebihan dan kekurangan antara kartu kredit dengann kartu debit. Ketika menginjak
usia mahasiswa, mulailah ajarkan berbagai instrumen investasi sebagai strategi
merencanakan keuangan masa mendatang. Ajari mereka formula investasi high gain high risk, moderate
gain, moderate risk, dan low gain low risk.
Sehingga kelak mereka memiliki pemahaman bijak dan tidak tergiur terhadap
tawaran investasi dengan modus penipuan.
Satuan
pendidikan mulai jenjang usia dini hingga PT (Perguruan Tinggi) harus memiliki
komitmen bahwa literasi finansial adalah bagian dari kecakapan hidup dan harus
diajarkan kepada siswa dan mahasiswa. Pembelajaran kesehatan keuangan individu seyogianya dijadikan suplemen pada
mata pelajaran yang terkait. Dalam mata pelajaran ekonomi dan akuntansi jenjang
SMA/SMK, misalnya pembelajaran literasi finansial dapat disisipkan. Hal ini
dikarenakan pada mata ajar tersebut hanya diajarkan keuangan institusi, bukan
individu. Demikian pula penerapannya di tingkat PT.
Lembaga
pendidikan dapat menggandeng pelaku usaha untuk duduk bersama membuat program
literasi finansial sebagai bagian dari corporate
social responsibility. Perusahaan, misalnya dapat menyediakan bahan ajar
dalam bentuk komik yang disukai anak-anak. Bentuk kegiatan lain dapat berupa
mengirimkan CEO atau Direksinya turun langsung mengajarkan literasi finansial
ke sekolah atau PT.
Sementara itu, pemerintah juga bertanggung jawab mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman komprehensif tentang pengelolaan keuangan individu dan keluarga secara cerdas dan bijak. Dukungan regulasi kebijakan menjadi penting apalagi pemerintah saat ini mencanangkan program cashless society. Bersama-sama lembaga pendidikan, seyogianya instansi pemerintah terkait merumuskan kebijakan agar literasi finansial masuk ke dalam kurikulum pembelajaran pada seluruh jenjang pendidikan. Akhirnya, kita berharap bangsa ini memiliki rakyat yang seluruhnya melek huruf, melek digital, dan tentunya melek finansial sehingga mampu mengurai problem kemiskinan.
Post a Comment for "Pentingnya Paham Literasi Keuangan"