Membangun Budaya Entrepreneur di Perguruan Tinggi
Tantangan pengembangan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi masih sangat besar. Tantangan terbesar masih terletak pada mutu kurikulum, tenaga kependidikan dan Institusi Perguruan Tinggi. Kurikulum umumnya belum menemukan standar aspek softskills untuk mengikuti perkembangan iptek dan permintaan industri atau masyarakat Tenaga kependidikan, khususnya dosen, umumnya memiliki kemampuan terbatas sebagai entrepreneur. Insitusi PT belum mampu membangun budaya kewirausahaan menuju kemandirian, sebagai contoh PT masih mengandalkan sumber penerimaan dari pemerintah dan mahasiswa.
Upaya-upaya untuk membangun budaya entrepreneur di PT dapat dilakukan melalui 4 strategi berikut.
Pertama, pelatihan dosen kewirausahaan secara intensif. Bagaimanapun juga variasi, di antara dosen kewirausahaan sangatlah tinggi, dari ilmu alam (ilmu teknik, kesehatan, MIPA/Pertanian), humaniora (hukum, ekonomi, sosial, politik, agama), atau seni (sastra, musik, tari, rupa). Pelatihan bertujuan untuk mengurangi variasi kemampuan dengan materi internalisasi nilai-nilai kewirausahaan. Materi lanjutan adalah peningkatan ketrampilan (transfer knowledge) dalam aspek pemasaran, finansial, dan teknologi; spesifik latar belakang akademik dosen. Ciputra, pengusaha dan pendiri Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC), mengatakan, pendidikan dan pelatihan kewirausahaan mesti jadi fokus juga, yang perlu mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah. Dengan tumbuhnya jiwa kewirausahaan dalam berbagai sektor, generasi muda Indonesia mampu membawa perubahan bangsa karena selalu mencari peluang untuk memakmurkan bangsa.
Kedua, pengembangan kelembagaan menuju entrepreneurial university. Langkah ini ditujukan untuk membangun bisnis (business setup). Perguruan tinggi mendirikan lembaga (kajian) kewirausahaan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek bisnis. Kebutuhan sumberdaya manusia, anggaran dan penunjang diorganisasikan mengikuti kaidah-kaidah corporate di perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang lembaga bisnisnya maju menurunkan kompetensinya kepada yang sedang berkembang. Disini dibentuk forum dosen kewirausahaan untuk mengembangkan komunikasi dan sharing manfaat di antara dosen. Namun perlu digaris bawahi bahwa entrepreneurial university tidak diartikan mengubah PT menjadi “Perseoran Terbatas”, akan tetapi lebih kepada upaya meningkatkan kualitas layanan tridarma PT melalui kewirausahaan.
Ketiga, pengembangan produk iptek. Perguruan tinggi yang menghasilkan produk akademik unggulan memiliki modal kuat untuk berwirausaha. Produk paten atau hak kekayaan intelektual dapat dikembangkan; atau dipasarkan kepada industri; sehingga menghasilkan income bagi perguruan tinggi. Disinilah nyata-nyata terbangun entrepreneurial university, seperti di National University of Singapore (NUS). Hingga tahun 2004, NUS telah menghasilkan 239 lisensi yang terdistribusi 45 persen produk paten, 30 persen non paten, dan 25 persen produk dimanfaatkan untuk pemerintah (Wong, 2006).
Keempat, ketersediaan anggaran. Pengembangan bisnis perlu modal. Dirjen Dikti, Depdiknas telah menyusun Program Mahasiswa Wirausaha atau PMW (Student Entrepreneur Program) dalam bentuk hibah kepada mahasiswa yang menjalankan dunia bisnis riil dibawah bimbingan dosen kewirausahaan. Perguruan tinggi juga dapat mengalokasi anggarannya untuk hal yang sama. Anggaran sesungguhnya tidak menjadi masalah manakala penguasaan iptek dosen telah mengikuti kebutuhan industri atau masyarakat. Modal akan datang mengikuti insentif dari usaha bisnis
Dalam mengembangkan kewirausahaan di perguruan tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melakukan berbagai program dengan beberapa skema. Skema pertama adalah dengan memberikan dana bantuan kepada perguruan-perguruan tinggi sebagai bentuk permodalan bagi mahasiswa dalam Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) Dikti. PMW bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan jiwa wirausaha (entrepreneurship) berbasis IPTEKS kepada para mahasiswa agar menjadi pengusaha nasional yang tangguh dan sukses, menghadapi persaingan global. Melalui program ini dana yang telah dicairkan oleh Dikti masing-masing 2 Milyar rupiah untuk Perguruan Tinggi bertaraf Internasional, 1 milyar untuk Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi Negeri, 500 Juta rupiah untuk Politeknik Negeri, dan 1 Milyar rupiah untuk setiap koordinator perguruan tinggi swasta (Kopertis).
Skema kedua untuk pendampingan mahasiswa yang menerima bantuan permodalan ini Dikti telah melatih 1500 dosen dari sekitar 300 perguruan tinggi dalam Training Of Trainer Dosen Kewirausahaan yang bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC). Melalui TOT para dosen diperkenalkan dengan fondasi pendidikan Entrepreneurship di perguruan tinggi. Peserta juga diperkenalkan dengan model-model pembelajaran entrepreneurship di perguruan tinggi, kreativitas sebagai dasar inovasi, best-practices lifeskill, dan bagaimana mengajarkan memulai sebuah business kepada mahasiswa.
Skema ketiga, Dikti melakukan program Cooperative Academic Edcuation atau yang lebih dikenal dengan Coop. Program ini adalah kegiatan pendidikan bagi mahasiswa S1 yang telah selesai semester 6 yang diberikan kesempatan untuk bekerja pada perusahaan, industri, UKM selama 3-6 bulan. Program Kreativitas Mahasiswa adalah program lain yang menawarkan Rp. 10 juta untuk setiap proposal yang masuk.
Skema keempat, Dikti membangun jejaring sinergi Busines-Intelectual-Government (BIG) yang merupakan kerja sama Dikti dan Kadin Indonesia. Beberapa tujuan penting yang ingin dicapai melalui sinergi ini adalah pemetaan potensi-potensi penelitian kerjasama antara perguruan tinggi, dunia industri dan wilayah.
Skema terakhir yang dilakukan oleh Dikti adalah Kuliah Kewirausahaan. Program ini dirancang dengan menyertakan 5 kegiatan saling terkait sebagai wahana: Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU), Kuliah Kerja Usaha (KKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja (KBPK) dan Inkubator Wirausaha Baru (INWUB).
Dari keseluruhan skema pengembangan kewirausahaan di Perguruan Tinggi diharapkan menumbuhkan berbagai Pusat pengembangan kewirausahaan di perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta. Pusat pengembangan kewirausahaan di PT dimaksudkan agar institusi itu bisa jadi inspirator, katalisator, dan agen perubahan untuk membangun dan memperluas masyarakat usahawan di Indonesia dengan cara berjejaring dan saling belajar di antara pusat kewirausahaan dan individu pendidik kewirausahaan di seluruh Indonesia. Dengan demikian, pendidikan tinggi diharapkan dapat menjadi penyumbang terhadap meningkatnya jumlah wirausahawan yang pada saat ini masih sekitar 0,18% dari jumlah penduduk Indonesia, menjadi minimal 2.5%.
Post a Comment for "Membangun Budaya Entrepreneur di Perguruan Tinggi"